Kehamilan dan Perjuangan Melawan Maut

Jumat, 14 Maret 2008
Oleh: *Eko Bambang Subiyantoro

Seorang ibu gagal melahirkan. Tragisnya, tangan bayi sudah terlanjur keluar
dari lubang tempat bayi lahir. Karena pendarahan terus-menerus dan posisi
bayi yang sulit dikeluarkan secara normal, persalinan itupun dihentikan.
Persalinan ini hanya ditolong oleh bidan desa. Kondisi ibu dan bayi semakin
kritis. Warga desa secara bergotong royong segera membawanya ke rumah sakit.

Sayangnya, ibu ini tinggal di satu desa terpencil di Kabupaten Sambas.
Mencapai Kota Sambas paling mudah menggunakan perahu motor, dengan menyusuri
sungai Sambas dan anak sungainya kurang lebih dua jam dan ditambah proses
perjalanan darat sampai satu jam. Selama tiga jam ibu itu terus membawa bayi
dalam kandungan yang tangannya sudah terkatung diluar, dengan pendarahan
yang terus-menerus. Ibu itu terus berjuang melawan maut.

***

Kasus ibu melahirkan yang tragis dan menyedihkan ini terjadi di Desa
Senujuh, Kecamatan Senjangkung Kabupaten Sambas. Seperti disampaikan diatas,
desa ini sangat terpencil. Mencapainya hanya dua cara melalui darat dengan
menempuh perjalanan hingga 3 – 4 jam, dengan kondisi jalan yang sangat buruk
dan hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, atau menyusuri sungai sambas
dan anak sungainya dengan perahu motor selama 2 jam melewati sejumlah hutan.

Desa yang dihuni sekitar 238 kk, dan kurang lebih sekitar 1150 jiwa,
sebagian besar berprofesi sebagai petani di sawah maupun di perkebunan
karet. Selain bertani mereka juga memanfaatkan hutan sebagai mata
pencahariannya, seperti kayu, kulit rotan yang diolah untuk kerajinan tangan
oleh perempuan di desa itu. Masyarakat desa ini benar-benar sangat
tergantung dengan alam raya yang telah memberikan banyak sekali kehidupan
yang telah berpuluh-puluh tahun terjadi.

Hampir terjadi diseluruh wilayah di Indonesia, di Desa Senujuh juga
menghadapi masalah kesehatan masyarakat dan secara khusus pada perempuan. Di
desa ini hampir tidak ada perhatian secara baik terhadap masalah kesehatan
reproduksi perempuan, mulai dari kesehatan remaja, dewasa, ibu melahirkan
dan kesehatan bayi. Puskesmas harus ditempuh sekitar 1 jam. Posyandu hampir
tidak pernah ada, kecuali untuk kegiatan simbolis desa, yang ada hanya bidan
desa, tetapi itupun dengan kemampuan yang sangat terbatas.

Ibu meninggal atau bayi meninggal karena melahirkan bagi warga desa sudah
hampir menjadi resiko yang harus diterima ketika seorang ibu hamil. Warga
desa tidak punya pilihan lagi, karena memang desa mereka sangat terpencil
dan kurang mendapat perhatian. Masyarakat tidak lagi berpikir tentang asupan
gizi, minimal bayi bisa lahir saja sudah sangat cukup. Setidaknya dalam dua
tahun terakhir ini, menurut Zurainah (35 tahun), seorang warga desa yang
aktif membangun kesadaran perempuan di desa itu mencatat ada dua ibu yang
meninggal karena melahirkan beserta anaknya dan sekitar enam bayi yang
meninggal pada saat melahirkan.

“Ibu-ibu kalau hamil dan akan melahirkan disini susah sekali, ia harus
berjuang untuk keselamatan bayinya dan juga dirinya. Kepala desa disini
tidak perhatian, yang diperhatikan justru investor sawit, tapi masalah
kesehatan warganya sama sekali tidak ada perhatian,”ujar Zurainah.

Sikap aparatur desa memang tidak adil dan kurang memberi perhatian bagi
warganya. Menurut keterangan warga, aparatur desa lebih banyak memberi
perhatian kepada para investor perusahaan sawit, karena dianggap bisa
menambah kas desa. Tetapi penambahan kas desa tidak memperbaiki situasi desa
secara lebih baik. Kehadiran perkebunan sawit di desa ini justru menambah
persoalan baru masyarakat desa, seperti kerusakan lingkungan yang
menyebabkan banjir, air menjadi keruh, hutan dibabat dan masyarakat
kehilangan mata pencaharian dan sebagainya.

“Saya ingin pemerintah dan aparat memberi perhatian terhadap masalah ibu
hamil dan anak-anak, karena kita yang perempuan ini terus-menerus susah,
mana kondisi desa sekarang semakin rusak,”ujar Zurainah menitipkan pesan.
“Kalau memang tidak bisa menghadirkan dokter atau membangun puskesman,
setidaknya program kesehatan masyarakat dan bagi ibu secara khusus bisa
rutin dilaksanakan, entah dua minggu sekali atau satu bulan sekali, yang
penting ada pemeriksaan rutin dan jelas dari dokter,”tambahnya.

***

Ibu itu akhirnya selamat, tapi bayinya meninggal dunia. Diantar beberapa
warga, saya bertemu dengan beliau, dirumahnya setelah melewati rintangan
banjir selutut yang saat itu sedang meluap setelah hujan. Rumahnya
sederhana, sebagian besar dari kayu sebagai ciri khas rumah di desa ini.
Tidak ada perabotan, hanya tikar di ruang tamu dengan penerangan lampu
minyak. Dari sini saya ketahui namanya Zuraidah, tidak ingat berapa umurnya
secara pasti, perkiraanya sekitar 30 an.

Menurut Zuraidah, dokter melakukan operasi cesar dan harus memotong sejumlah
bagian organ dirahim ibu untuk mengeluarkan bayi, karena kondisinya sudah
parah. Pupus sudah harapannya untuk mempunyai anak, karena rahimnnya tidak
mungkin lagi bereproduksi. Ini adalah kematian anaknya yang keempat. Semua
meninggal dalam kandungan. Anak pertama karena pendarahan. Anak kedua dan
ketiga kembar, keduanya juga meninggal karena pendarahan dan terlambat
pertolongan dan anak keempat meninggal dengan kondisi yang tragis.

“Sebaiknya wawancara dihentikan, dia isteri saya, biarlah apa yang terjadi
menjadi masa lalu, ujar suami Zuraidah, yang tiba-tiba memotong pembicaraan,
setelah saya berbincang selama 15 menit dengan Zuraidah. Wajah Zuraidah
nampak ketakutan melihat suaminya tidak mengizinkan untuk berbicara. Ia pun
jadi terdiam sambil menunduk, padahal sebelumnya ia sangat antusias untuk
menceritakan pengalamannya secara lebih mendalam sebagai pelajaran bagi
perempuan dan pengalamannya didengar oleh pihak yang bertanggungjawab atas
masalah kesehatan ibu hamil dan melahirkan agar apa yang dialami tidak
terjadi.

Meskipun tidak dapat hasil yang mendalam, lima belas menit bersama Zuraidah
telah menguak, wajah patriakhis negeri ini, dimana persoalan-persoalan
kesehatan perempuan tidak diperhatikan dan kedua perempuan tidak mempunyai
hak atas dirinya untuk bertindak atas dirinya. Keputusan hidup-matinya telah
dirampas oleh laki-laki, padahal yang merasakan sakit atas satu penderitaan
memperjuangkan bayi dan hidupnya dari kematian adalah dirinya bukan
laki-laki dan bukan suaminya. Inilah potret perempuan di Indonesia,
kehamilan bukanlah berkah, tetapi perjuangan melawan maut.

Misteri Kebahagiaan

Malam sudah larut, sebelum tidur tadi Hana meminta saya menyanyi.
Hampir satu jam Hana ketawa cekikikan sampai mamahnya ikutan ketawa
melihat Hana ketawa. Begitulah kebahagiaan yang saya alami sama
seperti halnya kebahagiaan yang anda alami sekarang ini bersama
keluarga anda yang tercinta.

Keluarga adalah sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia. Keluarga
juga dipandang sakral oleh semua agama. Tetapi hidup berumah tangga
itu sendiri merupakan misteri dari kebahagiaan. Ada orang yang hidup
dengan amat sangat sederhana, tetapi mereka merasakan kebahagiaan yang
prima dalam kehidupan rumah tangganya. Sebaliknya ada orang yang
memiliki kelengkapan fasilitas hidup, sandang pangan papan, hiburan,
kendaraan, uang, perhiasan dan sebagainya, tetapi mereka tidak
menemukan yang di dambakan, sebaliknya, semua kelengkapan materi itu
justeru tak bermakna apa-apa.

Pernikahan adalah suci, sunnah Rasul dan ibadah. Oleh karena itu
setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga secara
Islam dan hidup secara Islam. Perselisihan dalam rumah tangga adalah
sesuatu yang manusiawi belaka dalam al Qur’an menganjurkan untuk
selalu islah, memperbaiki diri, dan memilih jalan yang terbaik.

Wassalam,
Agussyafii

Kekerasan pada Perempuan Dominasi Tayangan Media

Jakarta, Kompas – Berbagai tayangan dalam media film dan sinetron di
Tanah Air kian didominasi adegan kekerasan terhadap perempuan. Situasi
ini dikhawatirkan semakin menyuburkan perilaku kekerasan terhadap
perempuan, khususnya dalam rumah tangga.

”Sekarang tayangan kekerasan kian marak di media elektronik,” kata
Asisten Deputi Urusan Kekerasan terhadap Perempuan Heru P Kasidi dalam
diskusi yang diprakarsai Kalyanamitra, pusat komunikasi dan informasi
perempuan, Kamis (13/3) di Jakarta. Acara itu juga diisi dengan
pemutaran film Perempuan Punya Cerita.

Menurut hasil survei ekonomi sosial tahun 2006, prevalensi kekerasan
terhadap perempuan adalah 3,1 persen atau empat hingga enam juta jiwa
dan mayoritas adalah istri pelaku. Lokasi kekerasan 70 persen berada
di rumah. Pencetus tindak kekerasan itu adalah kondisi ekonomi dan
perilaku pelaku.

Di tengah kuatnya sistem kapitalisme industri perfilman dan sinetron,
kini terjadi kompetisi antara pendidikan antikekerasan dan pendidikan
kekerasan, terutama lewat media elektronik. Bentuk kekerasannya kian
beragam, baik kekerasan psikis, fisik, maupun seksual. ”Padahal, media
massa berpengaruh besar dalam mengubah perilaku masyarakat,” ujar Heru.

Isu sosial

Sineas Nia Dinata menyatakan, film sangat berpotensi mengangkat
isu-isu sosial yang dialami suatu negara di mana penonton bisa
berasosiasi dengan karakter dalam film. Sinema bisa menjadi alat
efektif karena sifatnya populis, penonton tidak merasa digurui. Namun,
di Indonesia, mayoritas tema film berkisar kisah percintaan, kehidupan
konsumtif, dan kekerasan.

Sejauh ini pemerintah dinilai belum menjalankan fungsinya dengan
memberikan kebijakan yang mendukung perkembangan film Indonesia, dari
segi pendidikan teknis sinematografi film dan pentingnya pendidikan
jender dalam film, ekonomi dan industri perfilman. Pemerintah juga
belum menyadari pentingnya politik kebudayaan untuk melindungi film
nasional.

Untuk meningkatkan mutu film yang diproduksi di Indonesia, sangat
diperlukan sekolah-sekolah film yang bermutu. Padahal, sejauh ini
Indonesia hanya memiliki satu sekolah film.

”Studi jender juga sangat diperlukan bagi mahasiswa film sehingga para
sineas Indonesia dapat menjadi agen perubahan bagi kesetaraan jender
dengan menghasilkan film-film yang lebih sensitif jender,” ujarnya. (EVY)

Toraja, “Kota” Orang Mati yang Hidup

Dalam suatu wawancara yang dilakukan Televisi Fox, The History Channel
dari Amerika Serikat, dengan penulis baru-baru ini, salah satu
pertanyaan menarik yang diajukan kepada saya adalah apa yang membuat
Toraja menjadi sebuah budaya unik di dunia?

Jawaban saya singkat saja, seperti yang tertuang dalam judul di atas,
dengan ciri, �Toraja as the town of the living dead persons� di tengah
era globalisasi dan era postmodernisme. The History Channel dari TV
Fox mencari 12 episode rites of passage dari berbagai penjuru dunia
yang akan ditayangkan pada Mei mendatang. Toraja dan Minangkabau
mewakili Indonesia.

Kebanyakan orang berpendapat keunikan budaya Toraja adalah upacara
kematian. Pendapat ini kurang tepat karena upacara kematian dengan
tingkat elaborasi yang tinggi ada di mana-mana, seperti upacara
pemakaman Pak Harto atau upacara pemakaman di Bali dan Sumbawa.
Keunikan budaya Toraja sebenarnya terletak pada kepercayaan dan
praktik-praktik budaya yang memperlakukan orang mati hidup atau tidak
mati. Dan ini hanya ada dan terjadi di Toraja.

Orang Toraja memiliki satu sistem kepercayaan yang disebut Alukta.
Agama ini sering disebut Aluk Todolo untuk menggambarkan bahwa agama
ini asli ciptaan leluhur orang Toraja. Disadari atau tidak, satu
pandangan yang masih dianut dan dipraktikkan oleh hampir seluruh
masyarakat Toraja ialah pandangan tentang kehidupan yang berputar (cycle).

Manusia berasal dari langit, turun ke Bumi—kehidupan di Bumi—dan
kembali lagi ke langit setelah melalui transformasi. Pandangan ini
tampak dalam semua aspek budaya Toraja. Misalnya, dalam lagu-lagu duka
(badong) narasi bergerak dalam tema ini: manusia lahir di langit,
turun ke Bumi dan kembali lagi ke langit (ossoran). Rumah tongkonan
dan lumbung alang didirikan mengikuti gerakan dari selatan ke utara
sampai titik zenit tertinggi atau sebaliknya, dari utara ke selatan
(puya), kembali ke langit tertinggi.

�Orang sakit�

Kalau Anda berjalan-jalan di Toraja saat ini, Anda akan melihat
bendera putih di depan jalan dekat rumah seseorang dan hal ini dapat
ditemukan dari kampung ke kampung. Bendera putih menandakan ada orang
sakit dalam rumah yang disebut to masaki ulunna, ’orang yang kepalanya
sakit’ atau to makula; ’orang yang panas’.

Namun, yang dimaksud dengan orang sakit di sini ialah orang mati yang
hidup. Keadaan ini mudah ditemukan karena sekarang ini orang sakit
yang sedang menunggu upacara ada puluhan, bahkan mungkin ratusan
jumlahnya.

Ungkapan-ungkapan ini dan bendera-bendera putih menunjuk pada orang
yang secara biologis sudah mati tapi dari su- dut budaya Toraja orang
sakit. Ungkapan-ungkapan metaforis tersebut bersifat ambigu. Ia
mengandung makna ketakutan akan kekuatan alam gaib, teta- pi pada saat
yang sama juga berisi keinginan untuk menguasainya.

Sebagai orang sakit ia dimasukkan ke dalam peti sementara dan
ditidurkan di kamar tidur ruang selatan rumah tongkonan yang disebut
sumbung. Dia ditidurkan dengan kepala mengarah ke matahari terbenam
dan kaki ke matahari terbit, layaknya seperti cara orang hidup tidur.

Karena dianggap masih berada di alam kehidupan, tiga kali sehari ia
mendapatkan makanan dan minuman (pagi, siang, dan malam). Yang membawa
makanan selalu berkata, �bangunlah nenek, makanan dan minumanmu sudah
ada�. Pada siang hari dan terutama pada malam hari, anggota keluarga
dan para tetangga berkumpul di dalam rumah bercerita sambil bermain
domino dan minum kopi agar tahan begadang. Kalau sudah lelah, mereka
tidur di sekitar �si sakit�.

Sambil menunggu pelaksanaan upacara, si sakit dibaringkan di atas
rumah selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun;
bergantung pada kesediaan keluarga untuk melaksanakan upacara. Ada
yang sudah disimpan selama berbulan-bulan, ada yang bertahun-tahun,
misalnya enam tahun, bahkan ada yang pernah lebih dari dua puluh tahun.

Dalam situasi demikian, orang luar sering susah membedakan mana rumah
dan mana kuburan. Untuk orang Toraja, kuburan asli disebut banua tang
merambu (rumah tanpa asap) karena di dalamnya tidak ada dapur. Dapur
adalah simbol kehidupan.

Alasan menyimpan si sakit berlama-lama, seperti beberapa komentar dari
keluarga, adalah agar anggota-anggota keluarga dapat melakukan upacara
dengan tepat dan baik sesuai dengan strata sosialnya. Para anggota
keluarga harus punya waktu mencari uang untuk beli babi dan kerbau
yang akan dikorbankan nanti kalau upacara sudah dimulai. Alasan kedua,
agar semua anggota keluarga dapat hadir karena—seperti yang
diketahui—banyak anggota keluarga yang merantau.

�Orang tidur�

Tibalah waktu upacara. Upacara untuk orang dengan strata sosial tinggi
dilakukan sebanyak dua kali. Upacara pertama (aluk pia) berlangsung
selama lima malam, sedang yang kedua (aluk dio rante) selama dua
malam; walaupun yang kedua ini biasa juga berlangsung berhari-hari.
Antara upacara pertama dan kedua terkadang ada tenggang waktu yang
lamanya bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Sebagai rite of passage, ritus utama tetap bertumpu pada konsep ka’tu
(’putus’) yang dimainkan pada berbagai simbol, yaitu mematikan dan
menghidupkan, yang berakhir dengan memutuskan. Sejumlah upacara
dilakukan. Mulai dari upacara mematikan, ditandai dengan pemindahan
mayat ke ruang tengah tongkonan dengan kepala menghadap selatan dan
kaki ke utara (allo leko’na), hingga upacara ma’parempe’ yang intinya
menguburkan mayat di bagian selatan ruang tengah (sali).

Si sakit lalu disimpan di atas rumah menunggu upacara kedua (aluk dio
rante). Bisa dalam hitungan bulan atau tahun, bergantung kesiapan
keluarga. Pada titik ini selain gelaran orang sakit, ia juga
digambarkan sebagai to mamma’ lan kulambu manikna (orang tidur dalam
kelambu kalung emasnya). Ia tetap diperlakukan sebagai orang hidup
dengan memberinya makan tiga kali sehari.

Ketika upacara kedua dilaksanakan, ritus pertama yang dilakukan adalah
ma’tundan, yaitu membangunkan dia dari tidurnya. Lalu posisinya diubah
ke posisi mati (to tungara). Sejumlah ritus dilakukan disertai dengan
korban hewan babi dan kerbau.

Berbagai upacara yang mengikutinya, hingga upacara ma’pasonglo’, yaitu
melakukan prosesi ke tempat upacara terakhir (rante), adalah
tahap-tahap rite of passage yang memutus hubungan (ka’tu) dengan rumah
tongkonan dan lumbung. Dia secara simbolis diputuskan dari rumpun
keluarga (sang rapu, sang tongkonan).

Tetapi, ia diputuskan dari kampung halamannya bukan untuk pergi
selamanya. Ia diharapkan menjadi nenek moyang yang aktif membangun
hubungan kembali dengan orang hidup dan terutama diharapkan akan
kembali melipatgandakan apa yang sudah dikorbankan untuknya (sule
ma’bolloan barra’).

Orang mati yang hidup

Dari uraian di atas tampaklah bahwa keunikan budaya Toraja terletak
pada pandangan yang berkaitan dengan human agency, keagenan manusia
(Giddens, 1990, Central Problems in Social Theory) dalam menangani
kekuatan-kekuatan alam gaib. Tetapi, uniknya, mereka tidak tunduk pada
alam gaib khususnya yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supernatural.

Ada kekaguman, ketercengangan, bahkan ketakutan di hadapannya, namun
ada upaya mengontrolnya dan bersahabat dengannya. Manusia dapat
mengontrol alam gaib (arwah). Dan, inilah yang membedakannya dengan
agama besar lainnya, dengan manusia selalu tunduk di depan Sang Ilahi.

Ini pulalah yang menjelaskan mengapa orang mati diperlakukan sebagai
yang hidup. Orang mati tidak pernah mati, tetapi selalu hidup. Bukan
hanya sebagai suatu pandangan hidup, melainkan sesuatu yang masih
dipraktikkan sekarang. Mereka sangat akrab dengan si sakit, bahkan
tidur bersamanya. Di Toraja utara, kalau pasangan hidup mati sang
istri atau sang suami tidur bersama si mati di ranjang yang sama dalam
satu kelambu. Mirip kisah Romeo dan Juliet.

Jangan kaget! Toraja memang ibarat sebuah kota yang dihuni oleh orang
mati yang hidup!

Stanislaus Sandarupa Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin, Anggota Asosiasi Tradisi Lisan

Bom-A, Jihad, dan Indonesia

Setelah Benazir Bhutto dibunuh, Pakistan dianggap lebih
mengkhawatirkan daripada Iran.

Anggapan ini masuk akal meskipun disanggah Duta Besar Pakistan untuk
Indonesia. Instabilitas polkam menyelimuti Pakistan dan Iran. Di
kancah politik, ada unsur-unsur yang berhaluan garis keras. Mereka
siap mati syahid dengan memicu bom bunuh diri. Namun, Pakistan
mempunyai bom-A(tom), sedangkan Iran belum. Di tangan ideologiwan
fanatik, bom maut dapat untuk meneror. Ini bukan kemuhalan moral; ini
kemungkinan logis!

Pakistan sukses menguji coba bom-A tahun 1996. Pakistan pasti
menguasai teknologi pemisahan isotop sebab dengan cara ini saja
didapat bahan terbelahkan (fissile) bermutu senjata (weapons grade).
Uranium baru bermutu senjata bila kadar U-235-nya melebihi 70 persen.
Padahal, kadar U-235 dalam uranium alam hanya 0,7 persen. Jadi,
uranium itu harus diperkaya sampai U-235- nya lebih dari 100 kali
lipat kadarnya dalam uranium alam.

Bom-A juga dibuat dengan Pu-239. Plutonium sudah tidak ada lagi di
alam. Karena itu, plutonium dibiakkan dalam reaktor, lalu dipisahkan
dari bahan bakar bekasnya secara kimia. Ini memerlukan robotika sebab
bahan bakar bekas itu amat radioaktif dan plutonium amat radiotoksik.
Dari pemisahan kimia ini belum diperoleh Pu-239 murni, tetapi campuran
Pu-239, Pu-240, Pu-241, Pu-242, dan Pu-243. Meski lebih dari
separuhnya ialah Pu-239, untuk menjadi bermutu senjata, campuran ini
masih harus diperkaya.

Sangat rahasia

Ada beberapa cara untuk mengayakan uranium, yakni bauran gas (gaseous
diffusion), emparan gas (gas centrifuge), cerat Becker (Becker
nozzle), tabung pual gas (gas vortex tube), dan pemisahan laser. Yang
lazim dipakai ialah bauran dan emparan.

Dalam bauran/difusi dipakai pipa yang disekat menjadi dua alur (A dan
B) dengan membran berpori. Gas UF6 dialirkan melalui alur A. Karena
tekanan di alur B lebih rendah, sebagian gas itu merembes melalui
sekatan itu ke alur B. U-235 lebih ”kecil” daripada U-238 sehingga
lebih mudah merembes melalui pori-pori sekatan itu. Maka, kadar U-235
di alur B lebih besar daripada di alur A. Proses ini diulang-ulang
sampai dicapai tingkat pengayaan yang diinginkan.

Dalam emparan, gas UF6 diempar (diinteri, bahasa Jawa). Agar menir dan
beras terpisah, campuran menir-beras di-interi dengan nyiru. Juga UF6
yang berkadar U-235 lebih tinggi terkumpul di tengah bila campuran itu
diempar. Proses ini diulang- ulang sampai tingkat pengayaan yang
diinginkan tercapai.

Emparan lebih efisien daripada bauran, tetapi keduanya memerlukan
instalasi yang amat mahal. Karena itu, dipakai pula cara pemisahan
laser. Uranium diuapkan dan atom-atomnya diteral dengan laser.
Artinya, elektron-elektron dalam atom itu dinaikkan ke aras tenaga
yang lebih tinggi dengan tambahan tenaga dari laser. Berdasar
perbedaan sifat-sifat U-235 dan U-238, medan elektrik lalu dipakai
untuk mengendapkan U-235 dan U-238 yang tertelar/tereksitas i di
elektrode yang berbeda.

Yang bisa memakai cara pemisahan laser hanya segelintir negara maju
sebab teknologinya amat dirahasiakan. Penguapan logam uranium pada
suhu tinggi (2727>sup<0 >res<>res<C) amat sulit. Frekuensi laser yang
diperlukan untuk meneral atom-atom uranium itu juga amat dirahasiakan.
Mencarinya sendiri amat susah sebab terdapat banyak garis dalam
spektrum uranium teralan. Frekuensi itu harus benar-benar tepat agar
teralan yang dimaksud terjadi.

Massa genting

Bom-A ialah bom pembelahan. Ledakannya dipicu reaksi pembelahan inti
berantai yang adigenting (supercritical) , artinya dari 2-3 neutron
yang muncul pada setiap pembelahan inti, rata-rata lebih dari satu
berhasil membelah inti lain. Jika ”lebih dari 1” ini 2, semua inti
dalam bom akan terbelah dalam 87 generasi. Karena laju pembelahan
dalam reaksi berantai yang adigenting naik secara eksponensial, tenaga
bom itu hanya berasal dari 10 generasi yang terakhir. Setiap generasi
memakan waktu 10 nanosekon, jadi hanya diperlukan 0,1 mikrosekon
(sepersepuluh juta sekon) untuk meledakkan bom-A.

Reaksi berantai adigenting terjadi bila massa bom sama dengan massa
genting (critical mass)nya. Jadi, bom yang massanya semula
bawah-genting (subcritical) , dibuat menjadi adigenting agar meledak.
Caranya, menyatukan dua bagian bom itu, atau memampatkan satu gumpalan
massa, memakai bahan peledak biasa.

Massa genting uranium 15 kg jika berbentuk bola. Massa genting
plutonium bahkan hanya 4,5 kg, asal berbentuk bola yang volumenya 0,28
liter dan disalut uranium alam yang berfungsi sebagai pemantul neutron.

Udang di balik batu

Bagi kelompok garis keras seperti Al Qaeda, jihad berarti melawan
Barat yang zalim. Mereka berusaha mengimbangi Barat dalam segala hal.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, karena Barat punya bom nuklir, mereka
bertekad memilikinya, tetapi ini tidak gampang sebab dihalangi Barat.

Di Indonesia tak ada pejabat sipil atau TNI yang menyatakan ambisinya
untuk membuat senjata atom. Pendukung PLTN menegaskan, tujuannya hanya
pembangkitan energi. Namun, wakil Greenpeace curiga, ada alasan
militer di balik rencana itu.

Kaum anti-PLTN mengajukan seabrek keberatan. Dari segi keekonomian,
ketergantungan, pencemaran, nilai budaya dan etika, keberadaan di
lingkaran api dekat persentuhan tiga lempeng besar, kenyataan bahwa
Indonesia mengekspor gas alam, dan masih adanya sumber daya energi
yang belum digarap, dan lainnya tidak masuk akal jika kita membeli
PLTN. Justru lebih logis kalau ada maksud untuk menjadikan PLTN
sebagai batu loncatan ke senjata atom. Namun, yang logis ini tidak etis.

L Wilardjo Guru Besar Fisika dan Etikawan UK Satya Wacana, Salatiga

Kata Pak Anwar BI Sarang Penyamun

Menurut Pak Anwar Nasution (ketua BPK dan mantan DG Senior BI), BI adalah sarang penyamun. Saya tidak kenal dekat dengan beliau, hanya pernah mengikuti kuliah ekonomi moneter (3 SKS). Beliau terkenal kalau ngajar suka ngomong blak-blakan yang bikin merah telinga pemerintah waktu itu dan kalau ngajar suka mempermalukan mahasiswa mediocre seperti saya ini….Di kelas ekonomi moneter lainnya, dosennya adalah wanita yang cat rambutnya selalu jadi bahan tebakan mahasiswa karena bisa merah, pirang, kuning bahkan hijau….Dia adalah Miranda Swaray Goeltom yang oleh mahasiswa sering dijadikan objek bisik-bisik tentang….( gak enaklah masalh pribadi soalnya)

Waktu beliau bilang BI sarang penyamun, saya agak skeptis tapi sekarang pelan-pelan mulai percaya…Tadinya yang saya pikir sarang penjahat cuma DPR, Kejaksaan, Pemda, Kehakiman, Polri, Pajak, Bea Cukai…Tapi ternyata sekarang BI juga penyamun…Buktinya ada aliran dana dari YPPI untuk DPR…Terlepas apapun motifnya, namun terbukti aliran dana ini ada…Ya jelas saja BI tidak mau dipimpin oleh orang luar, karena nanti kenikmatan jadi penyamun terganggu…

Apakah Agus Marto kurang cerdas dalam ekonomi moneter…Please be fair….Kalau diibaratkan pemain, Agus itu pemain yang jagoan…Dan sangat mudah sebagai mantan pemain menjadi wasit (Gubernur BI)….Dengan rentetan perjalanan karirnya yang panjang dan hebat, jelas dia bukan orang sembarangan. ..Begitu juga Raden, coba lihat track record karir dan pendidikannya. ..Pasti Raden bukan orang buduh….Keduanya mumpuni meski memang kelas Agus lebih tinggi…Mestinya Agus jadi Gubernur dan Raden jadi Deputi Senior…

Satu lagi yang membuktikan BI sarang penyamun adalah gagalnya Doddy Virgianto (salah satu Direksi BNI) dalam fit & proper di BI…Saya tidak kenal sama sekali dengan Doddy ini, tapi disana disebutkan bahwa dia adalah mantan Kepala Divisi BNI, sebelumnya di Danamon dan pernah juga di Citibank…Menurut saya Doddy sangat mumpuni menjadi Direksi BNI, terbukti lulus di TPA kementrian BUMN….Tetapi kenapa tidak lulus fit & proper BI? Apakah Doddy pernah melakukan tindakan melawan hukum atau tercela? Tidak dijelaskan sama sekali…

Kasus penolakan ini bagi saya hanya menambah panjang daftar institusi di Indonesia yang isinya penjahat…Memang masih ada satu dua orang baik di institusi-institusi yang saya sebutkan di atas tapi perbandingannnya ibarat SUSU SETITIK DALAM NILA SEKOLAM RENANG….

Achmad Jauzi <achmad_jauzi@yahoo.com>

Untuk Urip dan Arta,

Secara pribadi saya sangat mendukung perbuatan Urip dan Arta.
Dalam bahasa jawa, URIP (Urip Tri Gunawan) artinya HIDUP sedang
ARTA (Artalyta Suryani) artinya UANG. Secara filosofis, Urip (hidup)
dan Arta (uang) adalah pasangan yang sangat serasi, keduanya
saling melengkapi. Uang bagi orang hidup, ibarat darah yang mengalir
ditubuhnya. Orang hidup Tanpa uang, dijamin akan mengalami banyak
kerepotan. Sistim ekonomi modern, menuntut semua orang untuk
memiliki uang sebagai alat pembayar dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dari kebutuhan sandang, pangan, rumah, mobil, TV, HP,
sampai sekolah semua harus diganti dengan uang. Itulah, mengapa
Urip mau berpasangan dengan Arta.

Saya sangat terkejut dengan pemberitaan tentang ditangkapnya
Urip karena berpasangan dengan Arta. Apakah mereka berselingkuh?
Melanggar hukum? Bukankah Urip tanpa Arta ibarat suami tanpa istri,
atau mobil tanpa bensin? Hanya orang gila atau orang yang bosan
urip (hidup) saja yang merasa tidak membutuhkan arta (uang).
Jadi mengapa mereka ditangkap? Alangkah baiknya bila mereka
dibiarkan saja untuk berpelukan, berciuman bergandengan tangan
untuk merangkai hidup yang sejahtera.

Seseorang yang memiliki Arta sangat banyak, Uripnya akan makmur
serta sejahtera, setidaknya dari segi materi uripnya akan berkecukupan
asal sehat, tidak berpenyakitan sehingga Artanya tidak akan habis
untuk biaya rumah sakit. Itulah mengapa orang yang Urip akan selalu
berusaha mencari Arta, yaitu dengan bekerja, wiraswasta, atau menjadi
bromocorah (bhs jawa : pelaku kriminal) dll. Disini kekuatan moral,
akal, kecerdasan, ketrampilan juga nasib seseorang akan diuji dalam
mencari arta. Orang yang memiliki pendidikan, ilmu, juga nasib baik
lebih berkesempatan untuk memiliki banyak arta, kalau perlu cari juga
kesempatan untuk korupsi, manipulasi sehingga arta yang didapat
juga lebih banyak, jadi tidak melulu dari gaji saja yang kata orang
tidak pernah cukup untuk membiayai gaya hidup yang serba
materialistik.

Orang yang bermoral pas-pasan akan mencari arta dengan berbagai
cara, bila perlu menjadi bromocorah (pelaku kriminal) atau korupsi
bila ada kesempatan. Nach ini agaknya yang menyebabkan ada
seorang jaksa yang Urip, yang seharusnya memiliki ilmu, pendidikan
tinggi serta akhlak yang terpuji, tetapi ditangkap aparat negara ketika
bertemu dengan Arta. Konon menurut berita dimedia masa, Arta yang
dibawa Urip, adalah Arta yang tidak syah.. Jadi pasangan Urip dan
Arta tersebut adalah pasangan selingkuhan yang dianggap tidak
syah, ditinjau dari hukum negara, juga norma-norma susila serta
agama. Bila ini kejadianya, saya menyesal mendukung Urip yang
berselingkuh dengan Arta. Urip yang bergelimpangan dengan
Arta, tetapi mendapatkan dengan tidak halal, insya alloh menjadi
tidak ada berkahnya. Bisa jadi secara materi uripnya makmur, tetapi
batinya menjadi tertekan serta merasa berdosa, apalagi bila
nasibnya apes seperti pak jaksa tersebut, karena namanya hancur,
serta harus siap menjadi penghuni penjara, bergaul dengan kecoa,
cecurut serta tikus masyarakat.

Demikianlah sedikit tulisan saya yang ngawur ini, semoga tidak
menjadi beban pikiran bagi orang urip (hidup) yang sedang berichtiar
mencari arta (uang) untuk memenuhi kebutuhanya.
Salam.

Gunawan Setyadi <demang.gun@gmail.com>

Sekali Lagi Soal Jilbab

Hampir tidak ragu lagi, mispersepsi dan distorsi terhadap Islam masih kuat
menghinggapi pandangan Barat. Peristiwa kekerasan dan bahkan terorisme yang
terjadi sejak 11 September 2001 hanya menambah mispersepsi dan distorsi itu.
Meski pada saat yang sama juga terjadi peningkatan berbagai forum pertemuan
serta dialog antarperadaban, khususnya Islam dan Barat, mispersepsi dan
distorsi pun masih bertahan terhadap Islam dan kaum Muslim.

Contoh paling akhir adalah ketika saya menjadi salah satu pemakalah dalam
konferensi ‘Islam, Demokrasi, dan Kebebasan Media: Tantangan dan Perspektif
bagi Indonesia dan Jerman pada Awal Abad ke-21′, awal Maret lalu di Jakarta.
Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta dari Jerman melihat pemakaian jilbab
atau hijab yang semakin meluas di kalangan perempuan Muslim merupakan
indikasi berlanjutnya ketidakadilan gender. Bahkan, penindasan terhadap kaum
perempuan dalam masyarakat Muslim.

Persepsi semacam itu cukup tipikal di masyarakat Barat. Perdebatan di Dunia
Barat–seperti di Prancis–tentang hijab juga melibatkan persepsi yang
distortif tentang hijab; ia merupakan pertanda ketidakadilan dan penindasan
terhadap perempuan Muslimah dalam masyarakat Muslim, mulai dari Maroko di
Afrika Utara sampai Merauke di nusantara.

Meningkatnya penggunaan hijab atau jilbab yang hampir merata di dunia
Muslim, dalam perspektif masyarakat Barat, tidak hanya berkaitan dengan
peningkatan semangat keislaman. Akan tetapi, lebih jauh lagi merupakan
indikasi ‘terjelas’ dari kebangkitan Islam politik. Dan, jika sudah
berbicara tentang Islam politik, rasa terancam pun kian meningkat di
kalangan masyarakat Barat. Sebab, mereka merasa bakal menjadi target
selanjutnya. Mereka cemas bahwa sistem politik, ekonomi, dan budaya yang
selama ini banyak bersumber dari Barat juga menjadi target untuk digantikan
dengan sistem yang menurut mereka fundamentalis.

Ketakutan pada hijab atau jilbab mungkin bermula dari penggambarannya yang
mulai menyeruak imajinasi Barat. Hal ini berbarengan dengan keberhasilan
revolusi Ayatullah Khomeini pada 1979 yang menumbangkan dominasi dan
hegemoni Amerika Serikat pada masa Syah Iran, Reza Pahlevi. Apa yang tampil
ke publik Barat adalah hijab tipikal Iran yang umumnya berwarna hitam atau
berwarna gelap. Bahkan, belakangan juga berwarna putih. Hijab model ini
biasanya menjuntai dan menutupi hampir seluruh bagian tubuh perempuan.
Bahkan, disertai penutup seluruh wajah yang hanya menyisakan sedikit ruang
untuk melihat bagi yang empunya diri.

Hijab seperti ini boleh disebut sebagai hijab ‘ideologis’. Maksudnya, hijab
yang bertitik tolak dari pandangan dan pretensi religio-politik Islam
tertentu. Dalam hal ini, hijab tidak hanya dipandang sebagai penutup rambut
yang dianggap aurat perempuan hingga perlu ditutupi dari pandangan orang
lain, khususnya bukan yang muhrim.

Tetapi jelas, bentuk dan model hijab atau jilbab juga tidaklah seragam.
Kebanyakan hijab atau jilbab lebih mencerminkan sikap yang lebih tawadhu
(modest) dari para pemakainya. Bahkan, jilbab tidak lagi menampilkan bentuk
dan model yang dapat mengundang pertanyaan, keanehan, dan ketakutan orang
yang melihatnya. Jilbab model itulah yang dikenakan sebagian besar Muslimah
Asia Tenggara; menutupi rambut, leher, dan dada dengan bahan warna-warni
yang fashionable. Jelas, jilbab semacam ini dan para pemakainya tidaklah
berangkat dari ideologi religius-politis.

Dilihat dari keanekaragaman bentuk dan mode jilbab, terlalu simplistis kalau
pemakaian hijab dan jilbab secara keseluruhan dipandang sebagai ekspresi
kebangkitan Islam politik. Dan, juga simplistis untuk menganggap pemakaian
hijab atau jilbab itu sebagai cerminan ketidakadilan gender dan
ketertindasan perempuan dalam masyarakat Muslim. Karena jelas, pemakaian
hijab atau jilbab yang tidak didasari pretensi religio-politik, lebih
berdasarkan kesadaran untuk tampil secara lebih Islami atau sebagai upaya
untuk lebih saleh; tidak yang lain-lain.

Dalam konteks itu, memang masih banyak yang harus dilakukan kaum Muslimin,
terutama mereka yang bisa berbicara dalam bahasa yang dipahami masyarakat
Barat, untuk menjelaskan berbagai hal tentang Islam dan kaum Muslim,
termasuk soal hijab dan jilbab. Penjelasan tersebut tidak akan efektif bila
didasari sikap konfrontatif. Sebaliknya, harus dengan cara persuasif, tetapi
tegas dengan bukti-bukti dan argumentasi yang bisa memupus mispersepsi dan
distorsi tersebut.

(Azyumardi Azra )

Apa sih Prinsip Dasar Perkawinan Itu?

Prinsip-prinsip dasar perkawinan harus diketahui oleh mereka yang
sudah mempersiapkan diri dalam jenjang pernikahan, bagi yang belum
mempelajarinya juga tidak ada salahnya dan bagi yang sudah menikah
akan membuat semakin kokoh perkawinannya. Prinsip itu adalah:

a. Dalam memilih calon suami/isteri, faktor agama dan akhlak calon
pasangan harus menjadi pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa
dan harta, sebagaimana diajarkan oleh Rasul.

“Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya,
kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya
kalian beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

“Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu
menurun.” (H.R. Ibnu Majah)

b. Bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah Rasul
bagi yang sudah mampu. Dalam kehidupan berumah tangga terkandung
banyak sekali keutamaan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi
diri sebagai suami/isteri, sebagai ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang
belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa, tetapi jika dorongan nikah
sudah tidak terkendali padahal ekonomi belum siap, sementara ia takut
terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia menikah saja,
Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat
menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib).

Nabi bersabda:
“Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah
nikahlah, karena nikah itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan
memelihara kesucian kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang
belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat
(dari dorongan nafsu).” (H.R. Bukhari Muslim)

“Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang laki
dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan memampukan mereka
dengan karunia Nya. Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha
Mengetahui.” (Surat al Nur, 32)

Wassalam,
Agussyafii

BLBI

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.

Penerima dana BLBI antara lain Agus Anwar (Bank Pelita), Samadikun Hartono (Bank Modern), Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidia Muchtar dan Omar Putihrai (Bank Tamara), Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin MH Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa), Trijono Gondokusumo (bank Putera Surya Perkasa), Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata), I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken), Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia).

Kasus Korupsi BLBI dan penanganannya

Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan-penyimpangan. Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.