Menggali Jejak Kebangkitan

Rabu, 21 Mei 2008

Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.

Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk mencari di manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan akan lebih bermakna justru di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan tekanan kehidupan karena tersanderanya republik.

Seratus tahun lalu, mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA menemukan momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan kolonialisme. Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama di tengah pengisapan neoliberalisme. Namun, di manakah kita harus mulai?

Kerja kolektif

Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan kesadaran akan realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat ketika pilihan-pilihan tersandera akibat hilangnya peran negara sebagai badan publik, yang ironisnya dibentuk secara sadar untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan “tiada pilihan yang tersisa selain memotong subsidi” adalah contoh nyata sirnanya tanggung jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.

Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara mudah. Seabad yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi daerah demi daerah untuk menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka. Kesadaran itu terkubur di tengah tuntutan pragmatisme hidup dan janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye politik etis. Kini kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk bertahan hidup dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.

Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi fatamorgana itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting. Mobilisasi melalui pengorganisasian politik massa-rakyat yang dapat membuat tiap individu yang sadar menjadi pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang tertindas harus dibuka, sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari langit. Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk semua. Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa kenal lelah dan tetap bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur yang membuat mereka tertindas/tertingga l.

Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama, seperti seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang melahirkan kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang membedakan pergerakan kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.

Perasaan ketertindasan/ ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa menjadi faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran, raja, dan ulama yang pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme. Kesadaran kolektivitas para mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun kemudian melahirkan tonggak sejarah baru dalam kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah kebangkitan nasional melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu Indonesia.

Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di tengah politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran menjadi demokrat) yang membuat semangat kekelompokan berdominasi. Memang, hampir mustahil menghapuskan kepentingan pribadi dan kelompok ketika ia memang secara sah diharuskan berkontestasi. Namun, ketika ia menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi sisa-sisa.

Kebangkitan sebagai spirit

Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit letaknya ada dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik hati sanubari massa. Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga menginspirasi orang secara massif. Barulah imajinasi massif itu mewujud dalam tindakan sosial.

Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa dari kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk gosip-gosip di kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial. Discourse yang meluas ke tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak api dalam sekam yang mencari jawaban atas hari ini dan hari depannya.

Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu suatu kali memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi oleh tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa serta berita kebangkitan negara Timur lainnya. Potensi letupan-letupan kecilnya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai selebaran-selebaran di tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan aparat kolonial. Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling konfliktual secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.

Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu suatu keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal menunggu pemimpin yang punya keberanian memimpin perubahan untuk berangkat melalui imajinasi sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan letusan-letusan sosial itu menjadi sebuah tindakan yang, karena massif diikuti oleh massa rakyat yang gelisah terhadap perubahan menentang kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan sosial politik yang dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana bangsa ini akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.

Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita menangkap gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini dan di sini? Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan mengkristalisasikan nya? Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap imajinasi sosial itu. Kemudian menyebarkannya ulang ke dalam suatu cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan oleh rakyat. Jika kita bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas kita menjadi lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka kebangkitan nasional selanjutnya.

Spirit yang mencari pemimpin

Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial. Suatu proses komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model bentuknya, yang ditangkap oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan dinyatakan kembali kepada massa rakyat. Ini seperti peristiwa rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan rakyat beserta teks sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan bentuk konteks baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa ini merupakan suatu proses discourse yang kompleks.

Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena komunikasi sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi sosial rakyat, melainkan juga maju selangkah lagi dengan memimpin imajinasi rakyat ke dalam bentuk tindakan perubahan yang luar biasa. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik oleh mereka.

Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal kebangkitan pertama 1908.

Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang berjiwa pemimpin akan punya cukup keberanian untuk membukakan pintunya: bersiap menerima kenyataan sejarah apa pun yang akan datang. Itulah yang dilakukan oleh dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, dan kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.

Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi-PDI Perjuangan

http://tempointerak tif.com/hg/ khusus/kolom/

Catatan Ringan Di Sabtu Pagi

Catatan Ringan Di Sabtu Pagi :
Dari Sjahrir sampai Kyai Dasuki

Oleh Anton

Selain buku `The Future Games’ karya Teweles and Jones yang dalam
sebulan ini belum selesai-selesai dibaca. Ada beberapa buku
selingan yang sudah diselesaikan salah satunya adalah dua buku
catatan tajuk Mochtar Lubis dan catatan harian Sutan Sjahrir. Dua
buku ini sebenarnya buku terbitan lama. Sekedar catatan untuk
catatan harian Sutan Sjahrir saya sering melihat dipajang di
Gramedia Blok M sejak saya masih SMA awal tahun 90-an. Ada yang
menarik tentang Sutan Sjahrir dan Mochtar Lubis. Yaitu sama-sama
menginginkan manusia rasional, modern dan berpikiran maju di
Indonesia. Namun berkiblat ke barat.

Catatan Harian Sutan Sjahrir

Awal saya mengenal Sutan Sjahrir justru dari tulisan Harry Poetze ,
dimana peran Djohan Sjahruzah (tokoh PSI, keponakan Sjahrir) sangat
besar dalam mengenalkan alam pemikiran Sjahrir ke pada Poetze, namun
di buku Poetze bagi saya sangat gersang jiwa
Sastra dari tulisan Poetze kurang hidup. Justru pada catatan harian
Sjahrir `Renungan dan Perjuangan’ kita bisa mengenal sosok Sjahrir
yang humanis. Tidak kering seperti Hatta, namun tidak juga berkobar
bagai Sukarno. Membaca Sjahrir tentunya kita akan ingat tentang
pamfletnya yang terkenal : “Perdjoangan Kita”. Pamflet “Perdjoangan
Kita” ini bagi sebagian orang sebagai masterpiece- nya, dan ini sama
saja dengan buku `Alam Pikiran Yunani’ dan artikel `Demokrasi Kita’ –
nya Hatta, atau `Indonesia Menggugat-nya Sukarno.
Pamflet `Perdjoangan kita’ mempunyai tiga isi pokok yang kemudian
isinya ini sangat mempengaruhi sejarah negeri ini. Isi itu adalah :

1. Jangan sampai Indonesia merdeka jatuh ke tangan unsur-unsur
radikal
2. Menghapuskan mentalitas fasis yang ditanamkan oleh Jepang
3. Memperoleh kepercayaan luar negeri.

Selain unsur yang ketiga yang merupakan sebuah strategi jangka
pendek diplomasi RI. Dua unsur pertama dan kedua, merupakan tragedi
dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Karena kedua unsur inilah
yang menjadi mesin sejarah utama bangsa ini bergerak. Tarik menarik
antara kekuatan radikal (Tan Malaka, TNI Masyarakat, PKI dua versi
dan Islam Radikal), moderat (Unsur Sjahrir/PSI, Profesional ala
Djuanda), karismatis (Sukarno) dan Tentara profesional (Ala
Nasution, kemudian menjadi tentara tangsi ala Suharto) menjadi
cerita sejarah paling utama di negeri ini, yang kemudian berpuncak
pada tragedi pembantaian besar-besaran sepanjang 1965-1966. Matinya
kemanusiaan di Indonesia karena pembantaian raksasa yang dilakukan
militer dengan bantuan ormas pro Suharto terhadap kelompok PKI dan
Sukarnois, kebetulan juga bersamaan dengan wafatnya Sjahrir di Swiss
Sjahrir tanggal 9 April 1966. Di sekitar tanggal itu Sukarno bagai
banteng ketaton pidato disana sini untuk mempertaruhkan jabatannya
yang diam-diam sudah diserang kelompok Suharto. Di hari kematian
Sjahrir, Sukarno langsung menganugerahkan gelar pahlawan nasional
pada Sutan Sjahrir. Padahal sehari sebelumnya Sjahrir merupakan
tawanan politik pemerintahan Sukarno. Apakah dengan ini kita ingat
akan kasus HR Dharsono, yang di jaman Suharto mau dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata saja dilarang?

Humanisme Sjahrir bisa dibaca pada tulisan GM di bukunya `Setelah
Revolusi Tak Ada Lagi’ yang saya kira GM banyak mengambil dari buku
catatan harian Sutan Sjahrir ini. GM menulis di buku itu tentang
Sjahrir pada hal. 31 dengan tajuk `Sjahrir di Pantai’. Tulisan ini
sungguh manis untuk mengantarkan kita pada kisah catatan harian
Sutan Sjahrir yang banyak ditulis ketika ia dibuang ke Banda Neira
oleh pemerintahan Hindia Belanda setelah sebelumnya ia merasakan
ganasnya Digoel. Begini kata-kata GM :

“Saya membayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942.
Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon dan beberapa jam sesudah itu
bom dijatuhkan. Saya membayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu,
setelah sebuah pesawat MD-Catalina yang bisa mendarat di permukaan
berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk.
Tak lama kemudian kapal terbang kecil itu pun berhenti di sebuah
bagian pantai yang datar. Ko-pilot pesawat, seorang perwira Belanda
yang kurus, turun ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua
tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya.
Hanya ada waktu satu jam untuk bersiap.

Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak.
Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun
salah satunya masih berusia tiga tahun. Sampai di dekat pesawat
sebuah problem harus dipecahkan : Ruang di Catalina itu terbatas
Enam belas kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta
mengalah. Ketiga kotak buku itu tak jadi dibawa – untuk selama-
lamanya – kecuali bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam
kopor pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali
kehilangan itu.

(GM, Ketika Revolusi Tak Ada Lagi, Alvabet 2004)

Disini karakter Sjahrir terlihat sebagai pecinta kehidupan, pecinta
keriangan masa kanak-kanak beda dengan Hatta yang kering, disiplin
dan kaku. Sjahrir adalah jiwa yang hidup. Mungkin inilah yang
menyamakan dirinya dengan Sukarno, tapi sekaligus melemparkannya ke
dalam perbedaan yang tajam dengan Sukarno. Sepanjang sejarahnya
Sjahrir adalah lawan politik Sukarno yang paling kuat dan
berpengaruh.

Yang menarik dari catatan Sjahrir ini adalah pendapatnya tentang
intelektualitas dan sastra, yang ditulisnya pada 20 April 1934 di
penjara Cipinang. Satu baris kutipannya yang menarik adalah :

“Sebab itu pada hematku, kurang adanya kehidupan ilmiah dan minat
yang sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan diantara kaum
intelektual kita di Indonesia ini, bukan terutama disebabkan karena
kita kurang mampu, kurang berkepribadian atau karena ada kekosongan
moral, melainkan karena belum cukup ada perangsang-perangsa ng yang
diperlukan di dalam masyarakat kita yang untuk sementara jauh lebih
sederhana ini. Bagi kebanyakan “pemegang-pemegang titel” di
Indonesia – kupakai perkataan ini akan pengganti istilah “orang
intelektual” , sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama
pada terutama tingkat kehidupan intelektual, melainkan kehidupan
sekolah –Ilmu pengetahuan itu tetap yang lahiriah saja dan bukan
kekayaan batiniah. Bagi mereka ilmu pengetahuan tetap sebagai barang
yang mati, bukan sesuatu hakekat yang hidup, yang berkembang dan
senantiasa harus dipupuk dan dipelihara. Tetapi ini bukan salah
mereka, terutama apabila mereka itu tidak mendapat kesempatan untuk
berkenalan dengan ilmu pengetahuan itu sebagai suatu pengertian yang
hidup, yakni di Eropa sendiri”.

(cuplikan catatan harian Sjahrir, Renungan Dan Perjuangan hal. 5-6,
Djambatan)

Sjahrir menulis problem intelektualitas itu tahun 1934 dan ini
merupakan pemikiran masalah Indonesia yang jangkauannya jangka
panjang. Bayangkan sampai detik ini (April 2008) ini saja problem
intelektualitas belum sepenuhnya `genah’. Bahkan beberapa bulan lalu
ada move dari Partai Demokrat dan Golkar untuk menjegal Megawati
dengan menggunakan gelar sarjana sebagai ukuran kematangan
intelektualitas. Jelas ini akan menjadi tertawaan bagi Sjahrir
seandainya Sjahrir berada dalam ruang sejarah sekarang.
Intelektualitas adalah sesuatu yang hidup….begitu pikir Sjahrir,
disini makna `hidup’ adalah kita terus mencari tahu terhadap
pertanyaan-pertanya an yang timbul. Sudah menjadi jamak bagi kita
setelah selesai sekolah maka kita menutup buku selama-lamanya,
enggan membaca apalagi studi sendiri. Kita kerap terjebak pada
ukuran-ukuran gelar akademis, namun tidak mau menjebakkan diri pada
pertanyaan-pertanya an yang menajamkan intelektualitas. Pertanyaan-
pertanyaan pada diri kita sendiri kemudian kita mencarinya dari
studi-studi kita maka disitulah intelektualitas kita dilatih untuk
hidup.

Tentang Sastra, Sjahrir juga mengungkapkan di hari yang sama 20
April 1934. Begini kutipannya :

“Lagipula aku tahu dari pengalamanku sendiri bahwa belajar dengan
sungguh-sungguh bagi kita orang Indonesia di negeri Belanda tidak
begitu gampang. Iklim dan masyarakat kita di negeri itu kadang-
kadang amat mempengaruhi saraf kita. Hidup terkurung ke dalam
tembok di dalam kamar-kamar yang pengap, suasana gelisah dalam
pergaulan hidup, semua itu sangatlah besar pengaruhnya bagi jiwa
kita, ada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berbakat yang gagal
dalam studi mereka, semata-mata karena mereka tidak berdaya
menghadapi semua itu; mereka memboroskan energi dalam kegelisahan
itu sehingga jasmani pun menjadi rusak.

Kutunjukkan pada bahaya-bahaya itu kepada adikku dan kutegaskan pula
bahwa belajar dengan cara yang baik, sekaligus membentuk watak kita,
karena untuk belajar diperlukan pengekangan diri sendiri, disiplin
diri sendiri. Kunasehati dia supaya memberikan dia supaya memberikan
perhatian pada kehidupan kultural di Eropa, terutama
kesusastraannya. Selain ia akan mendapatkan gambaran yang lebih baik
tentang kehidupan dan dunia pikiran barat, pun dengan demikian
matanya akan terbuka terhadap masalah-masalah kehidupan yang ada
disana; terhadap keanekaragaman dan kemuskilan hidup disana. Juga
dengan demikian ia akan belajar kenal masalah-masalah sosial politik
dengan cara yang lebih gampang dan menarik.

Kepada M kutulis pula surat untuk menolongnya dalam hal itu sedapat-
dapatnya. Bahwa ia masih memerlukan bimbingan serupa itu, bukan
suatu hal yang luar biasa : yang dapat disebut kaum intelektual di
negeri kita, pada umumnya yang masih buta huruf dalam bidang ini.
Mereka tidak membaca kecuali bacaan vak mereka sendiri, surat kabar
dan kadang sedikit bacaan hiburan. Dalam seluruh perpustakaan H,
misalnya terdapat hanya sebuah roman saja, dan tentang itupun dia
memberikan penjelasan – seolah hendak membersihkan diri – bahwa itu
dihadiahkan orang kepadanya. Padahal tak disangkal ia termasuk
puncak golongan intelektual kita yang dididik di Eropa.

Hal ini sesungguhnya sudah menggambarkan pula keadaan kesusastraan
kita. Sebenarnya boleh dikatakan bahwa belum ada orang intelektual
yang menulis dalam arti yang sebenarnya di negeri kita ini. Tidak
ada kesusasstraan, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam satu bahasa
daerah yang banyak itu. Tentu saja ada jutga orang menulis malahan
tidak sedikit jumghahnya. Ada suatu lembaga yang bernama Instituut
voor de Volksclectuur (kemudian bernama Balai Pustaka) yang
menerbitkan buku-buku rakyat banyak, kebanyakan terjemahan. Ada juga
tulisan-tulisan asli, tapi belum bisa dimasukkan ke dalam kategori
kesusastraan. Kita baru sampai pada menulis cerita-cerita. Di
Indonesia – tentu ada juga beberapa kekecualian – orang pada umumnya
tidak tahu tentang adanya suatu kesusastraan Eropa, suatu
kesusasstraan dunia, jadi orang pun tidak mempelajarinya.

Sebab itulah umpamanya usaha-usaha bebeberapa orang nasionalis muda
untuk menulis karya sastra –meskipun usaha itu diproklamirkan
sebagai renaissance, kebangkitan kembali pada saat ini ternyata
belum cukup bermutu untuk bisa menarik perhatian. Tingkatannya
terlalu masih rendah untuk itu; bahkan didalamnya boleh dikatakan
tidak ada pemikiran, tidak ada bentuk, tidak ada nada, dan yang
paling parah tidak ada kesungguhan dan kejujuran yang cukup. Yang
ada hanya pekerjaan bikinan yang tidak bermutu, yang dipropagandakan
dengan banyak reklame.

Padahal tanpa kesusastraan roman, juga tidak ada ungkapan-ungkapan
tentang masalah hidup, dan oleh karena itu pula kurang ada
pengetahuan tentang peri kehidupan. Seorang keluaran HBS (Hogere
Burger School, SMA- Anton) anak muda berumur 17-18 tahun di Eropa,
kadang-kadang tahu lebih banyak tentang kehidupan daripada banyak
orang intelektual, mahasiswa atau mereka yang sudah tamat sekolah,
di negeri kita.

(cuplikan catatan harian Sjahrir, Renungan Dan Perjuangan hal. 6-7,
Djambatan)

Disini saya bisa melihat kesadaran intelektual Sjahrir yang mampu
menghubungkan segala bentuk dimensi pemikiran dan ilmu pengetahuan
untuk dijadikan rangkaian-rangkaian yang memperluas pemahaman
tentang manusia. Banyak dari kita yang merasa sudah ahli dalam satu
bidang, malah tidak peduli dengan bidang yang lain. Bahkan sering
dialami seorang anak kecil dilarang orang tuanya untuk membaca novel
atau komik atau karya sastra yang dianggap buang-buang waktu dan
hanya disuruh belajar Matematika saja atau ilmu pengetahuan lain
yang sifatnya lebih eksak. Padahal sastra dan musik memiliki
rangsangan intelektual seseorang. Orang yang mampu mencerna bacaan-
bacaan sastra dengan baik dan mampu meng-imajinasikan di dalam
kepalanya, lebih mampu berpikir abstrak dan menggabung-gabungka n
berbagai peristiwa dengan cara yang indah. Hingga pemahaman dunia
tidak melulu hanya satu dimensi saja. Bacaan-bacaan sastra akan
merangsang imajinasi seseorang, sehingga bila ia belajar sesuatu
maka akan lebih efektif bila menggabungkan imajinasi dengan logika
yang digampang dimengerti. Disinilah Sjahrir memberikan benih-benih
kesadaran betapa pentingnya sastra dalam kehidupan intelektual
seseorang.

Saya sendiri adalah orang yang sangat yakin bahwa jaman bisa dibaca
melalui sastranya ketimbang dengan penelitian fakta-fakta yang
cenderung kering. Karena dengan sastra kita bisa segera menangkap
zeitgeist (semangat jaman) dari sebuah era. Dalam hal ini saya tidak
sependapat dengan Mochtar Lubis yang menolak bahwa karya sastra
tidak bisa dijadikan rujukan sejarah. Saya bisa menangkap pesan-
pesan perang kemerdekaan justru ketika saya membaca cerita `Hujan
Kepagian’ karangan Nugroho Notosusanto atau `Bukan Pasar Malam’
karangan Pram. Saya bisa menangkap pesan gemuruh kebingungan manusia
Indonesia terhadap arus Orde Baru justru dari tulisan-tulisan GM
ketimbang saya harus membaca bacaan kering tentang `akselerasi
pembangunan 25 tahun karya Ali Moertopo’.Dan pesan-pesan kegelisahan
pembangunan bisa digambarkan lewat kutang-kutang yang berkibaran
pada bait-bait puisi WS Rendra ketimbang saya harus membaca jurnal
statistik keluaran BPS. Betapa indahnya melihat kehidupan Jakarta
dari anekdot-anekdot yang diceritakan pada catatan Pram tentang
kehidupan rakyat kecil di gang-gang Jakarta yang kumuh dan becek.
Betapa romantisnya bayangan di dalam kepala membayangkan kisah
revolusi Perancis dengan membaca `The Tale of Two Cities’ atau
membaca ketersingkiran kaum tertinggal terhadap gemuruh kapitalisme
yang berselingkuh dengan kekuasaan lewat buku `Laskar Pelangi’ karya
Andrea Hirata.

Sjahrir adalah manusia Sosialis yang kemudian memenangkan revolusi
kemerdekaannya. Era 1945-1949 adalah era Sjahrir bukan kelompok
Sosialis Garis Keras seperti Tan Malaka atau Musso. Disini Sukarno
memilih Sjahrir karena pertimbangan praktis saja. Sukarno
membutuhkan diplomasi Amerika Serikat melalui Sjahrir untuk menekan
Belanda walaupun bayarannya teramat mahal. Peristiwa Madiun 1948.

Sjahrir yang seluruh energinya memperjuangkan perlawanan anti
fasisme, ironisnya beliau meninggal ketika sebuah era Fasisme di
Indonesia mendapat fajar baru. Apakah ini pertanda? Apakah ini
merupakan isyarat? Kematian intelektual besar yang sangat membenci
fasisme dimana tahun kematiannya menjadi era dimulainya fasisme ala
anak tangsi PETA menghujam Indonesia. Suharto menjadikan Indonesia
ladang percobaan neo fasisme dengan menerapkan sistem feodalisme
yang rumit dan dengan ini mencoba memodernisir Indonesia. Dan
hasilnya adalah sebuah kegagalan besar!.

Dan ironisnya lagi Mochtar Lubis, wartawan yang dekat dengan kultur
Sjahrir begitu memuja Suharto sampai peristiwa pembakaran Pasar
Senen, Malari 1974. Adalah irasionalitas ala Jawa dan kharismatis
feodal yang tidak begitu dipahami oleh Mochtar Lubis terhadap figur
Sukarno yang menjadikan dia begitu membenci Sukarno, setidak-
tidaknya lewat tulisan-tulisannya terutama di Tajuk-Tajuk Harian
Indonesia Raya.

Namun walaupun Mochtar Lubis dalam tajuk ini banyak mengucapkan
pujian pada Suharto dan melemparkan sesuatu yang buruk pada Sukarno,
tulisan Mochtar Lubis bisa dijadikan rujukan penting tentang
bermulanya korupsi-korupsi dalam skala raksasa terjadi di Indonesia.

Membaca tulisan Mochtar Lubis sesungguhnya seperti membaca sebuah
kisah dimana seseorang manusia seperti Suharto menganggap dirinya
mampu memberi makan rakyat dengan hanya mengandalkan konsep represif
yang tingkat kekejiannya melampaui penjajah dan tragisnya konsep itu
kemudian menjadi alat paling efektif dalam membodohi manusia
Indonesia. Kesadaran Orde Baru adalah kesadaran semu tentang
kepemilikan kapital yang sifatnya melawan arus terhadap kesadaran
kemerdekaan sesuai dengan visi para founding fathers. Orde Baru
tidak lebih daripada konsepsi dari Colijn (Menteri urusan Jajahan
yang terkenal keras terhadap kaum pergerakan) yang diperbaharui –
Orde Baru adalah pengejewantahan Colijnisme yang sedikit banyak
bercampur dengan pengaruh Mussert (Tokoh Belanda yang pro Nazi dan
fasis). Namun sayangnya konsepsi murahan Orde Baru kini mulai pelan-
pelan menjadi bahan rujukan kembali untuk membangun bangsa ini
setelah melihat demokrasi yang gagap ala pemerintahan Reformasi
1999. Maka untuk melihat akar-akar kesalahan Orde Baru justru lewat
buku kumpulan tulisan Mochtar Lubis sesungguhnya kita bisa melihat
bagaimana Orde Baru yang awalnya adalah Monsterverbond (persekutuan
jahat) dalam menjatuhkan Sukarno kemudian menjadi sebuah
pemerintahan yang amat totaliter dan korup. Kita dapat membaca akar
kesalahan Orde Baru justru dari penulis yang memang mendukung
sepenuh hati terhadap Orde Baru, Mochtar Lubis…Di awal mulanya.

Hampir seluruh sejarawan sepakat (baik yang netral, aliran kiri dan
pro Orde Baru) awal mula perseteruan Indonesia dengan kekuatan barat
adalah munculnya kemauan Sukarno yang keras untuk menjadikan
Indonesia independen. Sesuai dengan sifat Sukarno yang cenderung
memanfaatkan percaturan politik Internasional di jaman Jepang,
Sukarno dengan cerdik memanfaatkan kekuatan militer Jepang untuk
memegang jabatan paling penting bagi pribumi. Masuknya Sukarno ke
dalam struktur kekuasaan militer Jepang ini tentunya menghalangi
ruang gerak kaum Komunis yang lolos dari penangkapan besar-besaran
1927 dan menguasai pucuk pimpinan bukan dari unsur birokrasi kolot
juga bukan golongan agama, yang pada jaman Jepang cenderung mendapat
angin (berdirinya Masyumi pada masa Jepang untuk menjinakkan kaum
muslim radikal dan ini sangat berhasil kecuali gerakan-gerakan
tarekat yang melakukan perlawanan sporadis). Setelah kekalahan
Jepang, Sukarno dengan cerdik membuka jalan untuk kelompok Sjahrir
masuk. Geng Sjahrir-Hatta memiliki jaringan kepercayaan ke negara-
negara barat hal inilah yang ditolak Tan Malaka dengan menghendaki
kemerdekaan 100% dan bekerjasama dengan militer PETA namun pada
tahun 1949 kekuatan unsur PETA sepenuhnya berhasil dijinakkan
kelompok KNIL dibawah Nasution-Simatupang dimana kebijakan
politiknya sepenuhnya mendukung kelompok realistis (Hatta dan
lingkaran Sjahrir). Bahkan akhir babak dari perang kemerdekaan yang
heroik itu adalah antiklimaks dengan terbunuhnya Tan Malaka. Matinya
Tan Malaka dan hancurnya kesepakatan kaum kiri di Madiun dalam
kerangka Front Demokrasi Rakyat. Tanpa sengaja kematian Tan Malaka
merupakan belokan amat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tan
Malaka-lah yang pada mulanya mengucapkan sebuah konsepsi politik
yang pada saat itu dipegang penuh oleh para perwira militer dari
kubu PETA. Merdeka 100%. Pemikiran Tan Malaka ini bukan saja
merupakan pemikiran yang serta merta tumbuh dalam gejolak
kemerdekaan, tapi pemikiran ini adalah buah hasil cucuran
keringatnya bermandi peluh di perpustakaan nasional dan renungannya
di sebuah gang becek di Cililitan sana. Memang dalam pemikiran Tan
Malaka yang tertuang dalam Madilog pemikirannya mengarah pada sebuah
paham yang dianggapnya universal, namun Tan Malaka mampu melihat
gejala jaman, dan penglihatan Tan Malaka ini jauh lebih dulu
dibandingkan Sukarno. Syahdan di suatu pagi, beberapa orang menemui
Jenderal Sudirman di kota Yogyakarta, orang-orang ini adalah anak
muda yang terpengaruh paham Tan Malaka dan banyak bergerak di kota
Jakarta. Beberapa hari sebelumnya mereka berangkat dari Jakarta yang
sudah dikuasai NICA. Sudirman sendiri baru datang dari Yogya setelah
mengunjungi beberapa wilayah di sekitar Jawa Tengah. Sudirman
tertarik dengan gagasan Tan Malaka, baginya “Perang harus
diselesaikan sampai ke akar-akarnya’ namun apa daya, Sudirman ini
hanyalah seorang guru SD yang tingkat intelektualitasnya jauh di
bawah jago-jago militer lulusan Akmil Breda Bandung macam AH
Nasution atau TB Simatupang. Dan Sudirman bukan jenis orang yang mau
menang sendiri, ia pendengar… ia merasakan. Sementara di lingkungan
dalam Istana, Nasution dan Simatupang dengan intens mengeluarkan
gagasan untuk memperpendek perang, mengajukan sebuah tawaran damai
dengan Belanda lewat fasilitas Amerika Serikat dan memanfaatkan
situasi perang dingin, dimana kelompok Nasution paham bahwa AS akan
sangat marah bila Moskow buka cabang di Jawa. Di sinilah Sudirman
menemui dilema, sementara Tan Malaka menghadapi dilemanya sendiri,
ia pertama-tama sudah gagal menduduki kursi utama RI, karena memang
Sukarno lebih dipercaya rakyat, dan jadi selebritis utama sejak
Jepang menduduki Indonesia. Kedua, Tan Malaka merasa ditelikung oleh
Sutan Sjahrir tokoh yang pernah ingin dipengaruhinya untuk merebut
kekuasaan Sukarno, namun yang terjadi Sjahrir malah membuat `kudeta
sunyi’ dengan membentuk pos `Perdana Menteri’ dari sebuah sistem
konstitusional yang tidak mengenal istilah Perdana Menteri. Disini
Tan Malaka menemukan titik frustrasinya. Akhirnya sebuah kesepakatan
bersama lahir di Den Haag tahun 1949, dengan bayaran diam-diam
dibunuhnya Tan Malaka, di sebuah desa di daerah Kediri, Jawa
Timur….

Kematian Tan Malaka kelak menjadi sebuah perlambatan sejarah, karena
kesadaran kemerdekaan Indonesia 100% baru dimulai tahun 1960 tatkala
Sukarno dengan gemilang menemukan sebuah idee revolusinya, yang
kemudian juga dihancurkan oleh sebuah konspirasi paling rumit pada
abad 20, Konspirasi Gerakan Untung 1965.

Sejarah selalu mengenalkan orang-orang kalah, di sanalah berdiri
seuntai cerita tentang manusia yang berdiri pada pojok sejarah.
Apakah sejarah selalu seperti cerita kembang melati Aryo Penangsang,
sebagai perayaan khusus kemenangan Danang Sutowidjojo? Kembang
melati yang diuntai pada keris mempelai pria dalam adat Jawa
Mataraman, adalah simbol dari pengharapan keberanian seorang lelaki
Jawa menghadapi kehidupan, ini disamakan dengan usus Aryo Penangsang
yang dibiarkan terburai saat berkelahi dengan Danang Sutowidjojo.
Namun, keberanian tidak pernah dipandang sebagai keberanian,
keberanian hanyalah soal bagaimana kita memandang sesuatu dari
pengalaman psikologis seseorang, masyarakat bahkan bentukan sejarah.
Orang-orang Blora tidak pernah mau menggunakan adat melati yang
diuntai pada pinggir keris, ini sama artinya penghinaan pada Aryo
Penangsang, bagi mereka itu adalah adat Jawa Mataraman, sebuah
kekuasaan yang telah menghancurkan kelanggengan sebuah trah, sebuah
dinasti. Keberanian adalah sebuah persepsi? Lalu dimana sejarah
diletakkan pada persepsinya?

Sahibul Hikayat, tak lama setelah kejadian Prambanan dan
pemberontakan PKI di beberapa tempat tahun 1926/27 terhadap
pemerintahan kolonial, beribu-ribu orang ditangkap, diantaranya
dibuang ke Digoel. Salah seorang yang dibuang ke Digoel adalah Kyai
Dasuki. Kyai ini kyai sakti dari Solo dan namanya sudah sangat
terkenal. Dia pulang dari Digoel dengan gagah, tak lama kemudian
Jepang masuk. Saat dalam perjalanan pulang dari Surabaya ke
Semarang, ia menumpang kereta api. Kebetulan di tengah jalan saat
kereta itu berangkat ada bisik-bisik bahwa di sebuah pos akan
dilakukan pemeriksaan militer yang dilakukan oleh Kempetai. Sudah
jamak kiranya pemeriksaan itu diiringi dengan perampasan barang
berharga. Kyai Dasuki menyuruh orang-orang menaruh tas, koper, peti
dan barang bawaan berharga ini untuk ditaruh di atas bangku dan
ditumpuk, ia lalu duduk diatasnya. Dengan kesaktian yang ia miliki
Kyai Dasuki menghilangkan penglihatan atas barang-barang itu. Itulah
cerita legenda yang banyak diceritakan orang-orang tua jaman dulu.
Kyai Dasuki adalah seorang yang baik, berjiwa sosial, dan senang
mengajari ngaji. Namun pilihan politiknya adalah Komunis. Ia
mempunyai anak kandung lelaki yang sangat pintar, kita mengenalnya
sebagai Profesor Baiquni, ahli atom Indonesia yang namanya sangat
sohor di kalangan ilmuwan internasional tapi diluar itu (saya
membaca di majalah Tempo) Kyai inilah yang menikahkan Aidit dengan
dokter Soetanti. Setelah geger Gestapu 1965, Kyai Dasuki
menghilang.. ..seorang baik telah hilang, dilenyapkan oleh sebuah
rezim yang kelak membangkrutkan Indonesia…

Een Toch Sejarah tidak akan berhenti, seperti ucapan Bung Karno
ketika dia mengunjungi museum di Mexico City. Si Bung
Bercerita “Disana ada tulisan …Sekarang kita telah meninggalkan
gedung museum, gedung yang berisi cerita sejarah…namun kita tidak
akan pernah meninggalkan sejarah, karena sejarah akan terus bergerak
selama kehidupan ada di muka bumi” ya sejarah akan terus bergerak
dan mempunyai cerita-cerita baru.

ANTON