Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi

TIRTO ADHI SOERJO: PELOPOR KEBANGKITAN NASIONAL

Oleh Akbar T Arief *

Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah).” Itulah kata-kata yang sering yang diucapkan Bung Karno pada setiap kesempatan pidatonya. Namun, pada masa pemerintahan Soeharto, terjadi banyak distorsi terhadap sejarah Indonesia. Sejarah yang dimunculkan Orde Baru sangat jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Termasuk sejarah kebangkitan pergerakan nasional.

Dalam buku-buku sejarah Indonesia yang diajarkan di bangku sekolah, nama Tirto Adhi Soerjo tidak pernah diterangkan peranannya dalam kebangkitan pergerakan Nasional. Sejarah tersebut terpendam dan terkubur dalam-dalam di ingatan masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Kita bersyukur mempunyai sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di tangannya, sejarah Indonesia mulai muncul ke permukaan dan mendapatkan tempat di mata sejarawan Indonesia dan Indonesianis lainnya. Lewat karyanya, Tetralogi Buru dan Sang Pemula, sejarah tentang kebangkitan nasional mulai terkuak ke permukaan.

Jika kita baca lagi karya Pram, Tetralogi dan Sang Pemula – ada satu hal yang selama ini dilupakan oleh masyarakat Indonesia tentang pelopor kebangkitan. Adalah Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemula yang memolopori kebangkitan nasional. Dengan media cetak, Tirto berhasil membangkitan semangat perlawanan rakyat nusantara. Sarekat Priyayi adalah organisasi pertama – bukan Budi Utomo – yang menjadi peletak dasar kesadaran rakyat nusantara akan pentingnya persatuan. Dan “Desa Pasircabe” sebagai tempat percobaan semangat persatuan dan kolektivitas.

Siapakah Tirto?

Tirto Adhi Soerjo, salah satu tokoh pergerakan pada awal kebangkitan nasional Indonesia. Namanya sempat tenggelam dan ter (di) lupakan sejarah. Tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengerti betul jejak langkah dan peranannya pada masa kebangkitan pergerakan. Bahkan orang hanya mengenal dia sebagai tokoh pers Nasional. Padahal, jika dibuka dan dilihat lagi lembaran sejarah, Djokomono tidak sekedar tokoh pers tetapi pelopor pergerakan. Dia berhasil membangkitkan semangat perlawanan rakyat Indonesia yang terjajah ratusan tahun dengan alat yang lebih modern yaitu organisasi.

Raden Mas ‘Djokomono’ Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) adalah seorang tokoh pers dan pelopor kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Tirto berasal dari keluarga bangsawan dan keturunan langsung Pangeran Sambernyowo (Mangkunegara I). Meskipun Tirto berasal dari keluarga ningrat tetapi cita-cita kemerdekaan melekat dalam dirinya. Segala sumber daya yang dia miliki dicurahkan untuk memajukan bangsanya.

Peranan yang dimainkan Tirto pada awal pergerakan nasional memberi inspirasi bagi pembentukan identitas kebangsaan selanjutnya. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Tirto Adhi Soerjo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes.

Jejak Langkah Tirto Dalam Kebangkitan Nasional

Dalam kata pengantar buku Sang Pemula, Muhidin M. Dahlan mengatakan bahwa sebagai orang yang tersadarkan akan nasib bangsanya, Tirto terjun langsung mendidik masyarakat dengan pergerakan. Dengan semangat yang menggebu-gebu, ia sisihkan kepentingan dan kesenangan diri pribadinya; semua perhatian ia curahkan untuk mengorganisir masyarakat. Usahanya yang gigih ini membuah hasil berupa lahirnya Sarikat Priyayi (SP) pada tahun 1904.

Lebih lanjut, Muhidin menulis bahwa Sarikat Priyayi merupakan organisasi pergerakan pertama yang bercorak modern. SP inilah yang menjadi perintis pergerakan yang membawa setumpuk proposal awal kebangkitan kesadaran nasional dan bukannya Budi Utomo (BU). Dibandingkan dengan Budi Utomo, semangat dan wawasan SP jauh lebih. BU merupakan organisasi kesukuan sedangkan SP tidak, karena BU menggunakan bahasa Jawa dan Belanda sebagai bahasa pengantar organisasinya sedangkan SP lebih berwawasan nasional, yaitu tidak membatasi organisasinya pada paham kesukuan, menggunakan lingua-franca sebagai “bahasa bangsa-bangsa yang terperintah”.

Dari sini dapat dilihat bahwa gagasan tentang persatuan dan nasionalisme sudah muncul sebelum berdirinya Budi Utomo walaupun nasionalismenya masih berbentuk tunas. Pada zamannya, Tirto mulai membangkitkan kesadaran persatuan rakyat lewat usaha ekonomi. Di desa Pasircabe, Tirto menghimpun dan menggerakkan masyarakat dengan usaha produksi. Dari sini dia menyadari bahwa rakyat Hindia Belanda – sebagai bangsa terperintah – mampu dipersatukan oleh kepentingan bersama, yaitu melawan pemerintah kolonial Belanda.

Usaha Tirto untuk mempersatukan rakyat tidak berhenti sampai di sini. Pada tahun 1906 dengan usahanya yang gigih, sebuah organisasi yang mempunyai wawasan kebangsaan terbentuk. Cita-cita untuk mempersatukan bangsa termanifeskan dalam perhimpunan Sarikat Priyayi. Namun, harapan untuk menyatukan bangsanya lewat perhimpunan Sarikat Priyayi ternyata berakhir dengan kegagalan. Cita-cita Tirto untuk memajukan bangsa tidak dapat dipahami secara penuh oleh kawan-kawan seorganisasinya. Meskipun SP belum bisa membuktikan dirinya sebagai tali pengikat persatuan bangsa tapi SP sudah menjadi peletak dasar kebangkitan kesadaran persatuan.

Hancurnya SP tidak membuat Tirto berhenti untuk memajukan bangsanya. Dia tetap melakukan usahanya untuk membangkitkan kesadaran bangsanya – kesadaran untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Pada tehun 1907 dia mendirikan Medan Priyayi (MP). MP inilah yang kemudian dijadikan Tirto sebagai alat untuk memajukan bangsanya. Keluhan-keluhan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat bangsanya disuarakan lewat MP. MP sebagai alat memajukan dan mempersatukan bangsa pada proses perjalanan dapat membuahkan hasil. Pada kasus perseteruannya dengan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon, Tirto berhasil menggerakkan petani Bapangan untuk menuntut hak-haknya. Bahkan dengan usahanya tersebut, Gubernur Jendral J. B Van Heustz menaruh simpati pada Tirto karena mampu membangkitkan kesadaran penduduk Bapangan untuk melawan aparat birokrasi yang bertindak sewenang-wanang.

Usaha Tirto membangkitkan kesadaran bangsanya lewat alat yang lebih modern dapat dilihat sebagai kesadaran maju bagi bangkitnya gerakan pembebasan. Takashi Shiraishi melihat Tirto sebagai archetype pemimpin pergerakan dekade berikutnya dan bumiputera pertama menggerakan ”bangsa”melalui bahasanya, yaitu bahasa yang ditulisnya dalam Medan Priyayi. Lewat bahasanya itulah semangat persatuan dan kesadaran pembebasan mulai terbentuk.

Tidak puas dengan usahanya memajukan bangsanya lewat media jurnalistik, pada tahun 1909 Tirto mendirikan organisasi pergerakan yang sepanjang sejarah Indonesia sangat terkenal yaitu Sarikat Dagang Islamiah (SDI). SDI berdiri sebagai antitesa Sarikat Priyayi dan Budi Utomo yang tidak bisa merangkul semua golongan yang ada di Hindia Belanda. Pramoedya mengatakan bahwa landasan berdirinya SDI adalah mereka yang dinamai ”Kaum Mardika”, terjemahan dari Belanda ”Vrije Burgers,” yaitu mereka yang mendapatkan penghidupannya bukan dari pengabdian pada Gubermen: golongan menengah yang terdiri dari pedagang, petani, pekerja, tukang, peladang, sedangkan unsur pengikatnya adalah Islam. SDI kemudian berkembang pesat dan menjadi salah satu organisasi pergerakan diawal abad XX.

Dari jejak langkah Tirto di atas, kita sebagai bangsa yang peduli sejarah harus merenungkan kembali tentang pelopor kebangkitan nasional Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak perlu takut untuk mempertanyakan sesuatu yang sudah mapan. Kita harus mulai jujur pada sejarah semenjak dalam pikiran. Karena sejarah dapat memberikan pelajaran dan pondasi pembangunan bangsa ke depannya.

Tinggalkan komentar